Pengamat Desak Penggunaan MyPertamina Dibatalkan, Ini Alasannya

Ilustrasi aplikasi MyPertamina. (Antara)

Editor: Dera - Kamis, 4 Agustus 2022 | 19:30 WIB

Sariagri - PT. Pertamina mengatakan penerapan aplikasi MyPertamina bertujuan untuk mencegah terjadinya penyelewengan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, sehingga bisa lebih tepat sasaran dan tidak over kuota. 

“Dalam penyaluran BBM bersubsidi yaitu solar dan penugasan yaitu pertalite, ditemui banyak fakta penyaluran yang tidak tepat sasaran,” kata Section Head Communication Relations Pertamina Patra Niaga Region Jatimbalinus, Arya Yusa Dwicandra di Kupang, Kamis (4/8).

Menanggapi hal itu, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi justru secara blak-blakan menolak kebijakan tersebut. 

"Kalau indikasinya adalah kuotanya sudah menipis, artinya Mypertamina tidak efektif sama sekali, sangat tidak tepat, karena menimbulkan masalah baru tentang tidak keadilan dan tidak cocok untuk pembatasan dalam mencapai sasaran," ungkap Fahmy saat dihubungi Sariagri melalui sambungan telepon, Kamis (4/8). 

"Tidak semua konsumen punya (gadget) akses internet atau aplikasi Mypertamina, email atau web. Mereka (nelayan atau petani yang butuh BBM subsidi) justru tidak dapat karena mereka gak punya akses," sambungnya. 

Batalkan Pembelian BBM Melalui MyPertamina

Fahmy juga menyarankan agar pembatasan pembelian BBM subsidi melalui aplikasi MyPertamina lebih baik dibatalkan. 

"Menurut saya pembatasan tersebut dibatalkan. Untuk subsidi tepat sasaran, maka tetapkan secara kriteria sederhana bukan dari cc mobil, tapi dilihat dari misalnya konsumen pemilik sepeda motor, kendaraan umum, angkutan barang, angkutan penumpang. Nah, nanti di SPBU dibuat jalur subsidi," pungkasnya. 

Baca Juga: Pengamat Desak Penggunaan MyPertamina Dibatalkan, Ini Alasannya
Dinilai Menyulitkan Rakyat, DPR Minta Penggunaan MyPertamina Dikaji Ulang

Sementara untuk solusi jangka panjang, pihaknya meminta adanya evaluasi BBM secara reguler yang dilakukan rutin per bulannya. Pasalnya, anggaran subsidi BBM kini sudah membengkak hingga Rp502 triliun.  

"Nantinya kalau sudah normal, maka harus dilakukan evaluasi harga secara reguler per bulan misalnya. Jadi kenaikan tidak langsung di angka Rp3.000 sampai Rp5.000 misalnya, itu kan memberatkan. Tapi kalau ada evaluasi per bulan mungkin hanya sekitar Rp500 sampai Rp1.000 jadi tidak mengagetkan atau memberatkan konsumen," tutupnya.