Laporan Khusus: Tarik Ulur Pembatasan Pembelian BBM Subsidi

Editor: Dera - Jumat, 5 Agustus 2022 | 16:00 WIB
Sariagri - Bengkaknya anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) Indonesia sebesar Rp502 triliun, seakan membuat pemerintah pun ketar-ketir. Bahkan, Presiden Joko Widodo secara blak-blakan menyebut "negara manapun tidak akan kuat" menahan beban subsidi ratusan triliun.
"Negara manapun tidak akan kuat subsidi sebesar itu. Tapi sekarang Alhamdulilah kita masih kuat menahannya sampai sekarang ini. Ini yang patut kita syukuri bersama-sama," ungkap Presiden Jokowi di Istana Jakarta, Senin, 2 Agustus 2022.
Orang nomor satu di Indonesia itu juga mengatakan, sebelumnya subsidi yang diberikan pemerintah melalui APBN sekitar Rp170 triliun, namun angka tersebut melonjak drastis menjadi Rp502 triliun.
"Kalau bensin di negara lain sekarang harganya (disetarakan dengan kurs rupiah) sudah Rp32.000, Rp31.000, di Indonesia Pertalite masih Rp7.650 (per liter), tapi juga perlu kita ingat, subsidi terhadap BBM sudah sangat terlalu besar," pungkas Jokowi seraya mengingatkan besarnya anggaran BBM subsidi.

Anggaran Bengkak, Kuota BBM Subsidi Terancam Jebol?
Tak hanya soal anggaran, pemerintah juga dihadapkan dengan permasalahan distribusi BBM subsidi yang dinilai tidak tepat sasaran. Penyaluran BBM subsidi justru dinikmati oleh masyarakat mampu hingga membuat kuota BBM subsidi pun terancam jebol.
"60 persen masyarakat mampu atau yang masuk dalam golongan orang kaya ini mengonsumsi hampir 80 persen dari total konsumsi BBM bersubsidi," ujar Irto Ginting selaku Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga.
Berdasarkan data informasi yang diperoleh dari Pertamina, lebih dari 50% kuota BBM subsidi sudah habis pada bulan Juni 2022. Artinya, Indonesia harus bergerak cepat dalam mengantisipasi over kuota yang bisa menyebabkan kelangkaan BBM subsidi.

Revisi Perpres BBM Subsidi & Aplikasi MyPertamina
Mengatasi hal tersebut, pemerintah pun kini tengah menggodok revisi Peraturan Presiden (Perpres) No.191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
Perpres tersebut akan mengatur secara rinci siapa saja kelompok yang berhak menerima BBM subsidi, sehingga biaya subsidi dalam APBN terkendali. Namun sayangnya, hingga kini revisi Perpres tersebut belum juga rampung. Di sisi lain, pembatasan pembelian BBM subsidi mendesak dilakukan karena kuota BBM subsidi yang kian menipis.
Sementara upaya lain yang dilakukan Pemerintah melalui PT Pertamina yaitu melakukan pembatasan pembelian BBM subsidi, seperti Pertalite dan Solar melalui aplikasi MyPertamina.
Pengguna Pertalite dan Solar subsidi bisa melakukan pendaftaran melalui subsiditepat.mypertamina.id. Di mana nantinya, pengguna diwajibkan memasukkan data identitas diri serta foto kendaraan.
Namun hingga berita ini dibuat, Pertamina belum menerapkan pembelian lewat QR MyPertamina lantaran masih menunggu hasil revisi Perpres terkait BBM subsidi.
"Saat ini belum kita berlakukan karena kita menunggu revisi Perpres 191 tahun 2014. Namun pendaftaran tetap dibuka, tapi ketika nanti QR Code mulai diimplementasikan, maka yang bisa membeli BBM subsidi hanya mereka yang memiliki QR Code dan sesuai kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah," ujar Irto Ginting selaku Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga kepada Sariagri.

MyPertamina Tuai Polemik
Pengunaan MyPertamina ternyata menuai pro dan kontra. Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi bahkan secara tegas menolak kebijakan tersebut.
"Kalau indikasinya adalah kuotanya sudah menipis, artinya Mypertamina tidak efektif sama sekali, sangat tidak tepat, karena menimbulkan masalah baru tentang tidak keadilan dan tidak cocok untuk pembatasan dalam mencapai sasaran," ungkap Fahmy saat dihubungi Sariagri melalui sambungan telepon, Kamis (4/8).
"Tidak semua konsumen punya (gadget) akses internet atau aplikasi Mypertamina, email atau web. Mereka (nelayan atau petani yang butuh BBM subsidi) justru tidak dapat karena mereka gak punya akses," sambungnya.
Dirinya bahkan menyarankan agar pembatasan pembelian BBM subsidi melalui aplikasi MyPertamina lebih baik dibatalkan.
"Menurut saya pembatasan tersebut dibatalkan. Untuk subsidi tepat sasaran, maka tetapkan secara kriteria sederhana bukan dari CC mobil, tapi dilihat dari misalnya konsumen pemilik sepeda motor, kendaraan umum, angkutan barang, angkutan penumpang. Nah, nanti di SPBU dibuat jalur subsidi," pungkasnya.
Sementara untuk solusi jangka panjang, pihaknya meminta adanya evaluasi BBM secara reguler yang dilakukan rutin per bulannya. Pasalnya, anggaran subsidi BBM kini sudah membengkak hingga Rp502 triliun.
"Nantinya kalau sudah normal, maka harus dilakukan evaluasi harga secara reguler per bulan misalnya. Jadi kenaikan tidak langsung di angka Rp3.000 sampai Rp5.000 misalnya, itu kan memberatkan. Tapi kalau ada evaluasi per bulan mungkin hanya sekitar Rp500 sampai Rp1.000 jadi tidak mengagetkan atau memberatkan konsumen," pungkasnya.
Senada dengan Fahmy, Anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina menilai aplikasi My Pertamina untuk membeli pertalite dan solar tidak akan efektif dan justru semakin menyulitkan rakyat. Kebijakan ini menurutnya berpotensi menjadikan rakyat di daerah tidak bisa memperoleh subsidi lantaran tidak bisa menggunakan MyPertamina, karena kesulitan akses internet dan kendala kepemilikan gadget.
"Bagaimana dengan SPBU di daerah, di pelosok, dan di perbatasan. Bila calon pembeli BBM gagal akses, atau SPBU tak tersedia jaringan internet, sehingga gagal membeli BBM, ini dapat menimbulkan konflik masyarakat. Ancaman terhadap keamanan," ujar Nevi dalam keterangan tertulisnya, Kamis (4/8/2022).
“Ini belum termasuk persoalan kepemilikan kendaraan, di mana banyak kendaraan tidak sesuai dengan pemiliknya. Nama pemilik kendaraan pada Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB), berbeda dengan yang tertera dalam surat dan KTP," tambahnya.
Sedangkan dari pengguna pertalite sendiri, Suprayoga salah satunya, ia mengaku keberatan dengan adanya mekanisme tersebut. Menurutnya, pembelian lewat QR akan membahayakan pengguna lantaran mereka akan membuka telepon pintar di SPBU.
"Enggak setuju dengan pembelian lewat QR, bakal ribet dan bahaya untuk pengguna," ujarnya kepada Sariagri.
Hal senada juga disampaikan oleh Bimo, pengguna solar. Ia melihat penggunaan telepon pintar di SPBU sangat berbahaya bagi para pengguna.
"Sudah pasti tidak aman, dikarenakan membuka handphone pada SPBU sudah jelas bahaya sedangkan untuk melakukan QR harus menggunakan handphone. Jadi sudah pasti tidak efisien diadakannya QR untuk pembelian Pertalite," terangnya kepada Sariagri.
Meski menuai kritikan dari berbagai kalangan, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (Iress) Marwan Batubara justru menyebut penggunaan teknologi lewat MyPertamina sebenarnya sudah memiliki tujuan yang baik, di mana penyaluran BBM subsidi bisa tepat sasaran dan penyelewan terjadi seminimal mungkin.
"Saya kira itu lewat teknologi itu bisa terus dikembangakan sehingga itu bisa tercapai. Saya kira dengan sistem teknologi itu kan banyak hal yang bisa dilakukan sehingga subsidi tepat sasaran bisa tercapai. Jadi memang itu salah satu cara terbaik ya," ujar Marwan kepada Sariagri, Kamis (4/8).
Menurutnya, realisasi penggunaan MyPertamina nantinya tidak akan menyulitkan karena banyak yang sudah terbiasa menggunakan telepon pintar. Kendati demikian, apabila ada masyarakat yang merasa kesulitan pastinya ada solusi yang diberikan baik dari Pemerintah maupun Pertamina.
"Saya yakin itu tidak (menyulitkan) masyarakat, tapi yang jelas ada masyarakat yang kesulitan, tapi kan mestinya sudah ada antipisasi sambil dilakukan perbaikan dan sosialisasi sambil jalan. Tapi secara paralel perlu dilakukan pendidikan kepada masyarakat itu," jelasnya.
Lalu, Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah untuk Atasi BBM Subsidi?
Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (Iress) Marwan Batubara mengatakan pemerintah harus mengelola pola subsidi secara tepat. Pasalnya, penyaluran BBM subdisidi banyak yang tidak tepat sasaran. Bahkan ia menyebutkan berdasarkan kajian Bank Dunia dan Pemerintah itu sendiri diakui lebih dari 40 persen BBM tidak tepat sasaran.
"Jadi dikhawatirkan memang ada moral hazard untuk harga (BBM Subsidi) tetap rendah, tapi sektor-sektor yang tidak berhak (Industri pertambangan dan perkebunan) ini justru menikmati dan diuntungkan atau terllibat untuk supaya harga BBM tidak naik-naik. Tapi disisi lain kan itu menjadi beban APBN yang nilainya itu ratusan triliun," ujarnya kepada Sariagri, Kamis (4/8).
"Masalah pricing itu harus segera diperbaiki, saya bukan mau mendorong supaya (BBM subsidi) naik tapi memang harus naik kalau engga nanti uang APBN itu justru banyak dipakai untuk mensubsidi golongan konsumen yang tidak berhak," sambungnya.
Pihaknya menyebut, penghematan anggaran ratusan triliun untuk BBM subsidi bisa disalurkan ke sektor lainnya, seperti proyek sosial masyarakat.
"Jadi karena itu pemerintah harus punya komitmen yang kuat untuk berpihak. Meskipun diakui ada dampak inflasi atau mengganggu ekonomi, tapi saya kira justru dampak negatif dengan harga yang sangat rendah dan membebani ratusan triliun APBN itu justru lebih besar dibanding bicara soal masalah inflasi. Dan ini dimanfaatkan dengan baik oleh sektor-sektor yang memang punya kepentingan untuk harga tetap rendah," paparnya.
Marwan memberi contoh, misalnya harga keekonomian BBM seharga Rp18.000 lalu dijual Rp5.000, maka ada selisih jauh dibandingkan harga pasar.
"Padahal kan kalau mau subsidi itu kan harusnya 10-30 persen masih oke lah. Tapi kalau jauh lebih besar ini menjadi masalah. Jadi saya khawatir ini ada kepentingan politik atau keinginan dari sektor-sektor yang ingin harga BBM Subsidi tetap rendah," terangnya.
Ia menyampaikan soal harga BBM subsidi harus ada perbaikan. Salah satu yang diusulkan adalah mengacu pada indeks harga komoditas lainnya, sehingga nantinya bisa disimpulkan berapa harga yang pas untuk BBM subsidi.
Baca Juga: Laporan Khusus: Tarik Ulur Pembatasan Pembelian BBM SubsidiPengamat: Beli BBM Subsidi Lewat MyPertamina Sudah Tepat
Kemudian ada strategi untuk membuat dana stabilisasi. Misalnya harga minyak dunia turun, harga BBM dalam negeri tidak perlu turun sesuai harga keekonomian tapi di tahan saja agak tinggi. Dari situlah ada dana untuk yang disimpan sebagai dana stabilisasi.
"Ketika harga dunia naik, maka tidak perlu menyesuaikan dengan harga minyak dunia yang naik. Bagaimana cara menurunkannya? gunakanlah dana yang disimpan tadi yang disebut dana stabilisasi tadi," pungkas Marwan terkait salah satu upaya agar anggaran subsidi BBM Indonesia tidak semakin membengkak.
Tim Laporan Khusus:
Reporter: Rashif Usman
Grafis: Wahidin