Lonceng Kematian Batu Bara Kian Menggema, Ratusan Ribu Orang Bakal Nganggur

PLTU Berau yang berlokasi di Teluk Bayur, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. (Antara)

Editor: Yoyok - Minggu, 18 September 2022 | 15:00 WIB

Sariagri - Batu bara merupakan komoditas andalan Indonesia. Indonesia juga menjadi produsen batu bara terbesar ketiga di dunia setelah China dan India. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor batu bara pada Januari-Juli 2022 menembus 29,67 dolar AS miliar atau sekitar Rp440 triliun (kurs Rp14.828 per dolar AS). Ekspor tersebut naik 18,84 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Potensi ekspor batu bara kian meningkat lagi kala pasokan minyak dan gas (migas) dunia terganggu akibat perang Rusia-Ukraina. Dikabarkan, sejumlah negara eropa memilih batu bara sebagai penggantinya, bahkan kebutuhannya semakin penting menjelang musim dingin tahun ini.

Mana kala batu bara masih mempunyai pasar yang potensial sebagai sumber energi, pemerintah Indonesia justru mengurangi penggunaannya. Padahal,  konsumsi batu bara dalam negeri secara global masih kecil. 

Berdasarkan data BP Statistical Review 2021, konsumsi batu bara Indonesia baru sekitar 2,2 persen dari total porsi konsumsi batu bara dunia, jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan China yang memiliki porsi 54,3 persen, India 11,6 persen, dan USA 6,1 persen.

Lonceng kematian batu bara Indonesia pun kian menggema ketika Presiden Joko Widodo melarang pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara. Presiden pun meminta Menteri untuk menyusun peta jalan percepatan pengakhiran atau mempensiunkan PLTU yang masih beroperasi saat ini.

Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden No.112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Listrik. Peraturan Presiden ini ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 13 September 2022 dan berlaku efektif pada saat diundangkan yakni sama seperti tanggal penetapan, 13 September 2022.

Adapun kebijakan tersebut ditujukan dalam rangka transisi energi sektor ketenagalistrikan. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 3. Pada Pasal 3 (1) berbunyi:

"Dalam rangka transisi energi sektor ketenagalistrikan, Menteri menyusun peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU yang dituangkan dalam dokumen perencanaan sektoral."

Namun di sisi lain, pada ayat 4 disebutkan bahwa pengembangan PLTU baru dilarang, kecuali salah satunya bagi PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini. 

Serta merta kebijakan Jokowi itu direspons negatif pasar efek. Berdasarkan data perdagangan saham Bursa Efek Indonesia (BEI), Jumat (16/9). saham sektor energi melemah hingga 2,30 persen setelah beberapa hari terakhir mencatatkan penguatan. 

Dilaporkan, pada penutupan perdagangan sesi I, beberapa saham batu bara yang mencatatkan penurunan adalah saham PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) turun  Rp90 (2,22 persen) menjadi  Rp3.970, PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) turun  Rp700 (1,59 persen) menjadi  Rp43.300, dan PT United Tractors Tbk (UNTR) turun  Rp725 (2,08 persen) menjadi  Rp34.175.

Penurunan juga melanda saham PT Bukti Asam Tbk (PTBA) melemah  Rp90 (2,04 persen) menjadi  Rp4.320, PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR) turun  Rp65 (3,39 persen) menjadi  Rp1.855, PT Bayan Resources Tbk (BYAN) turun  Rp250 (0,38 persen) menjadi  Rp66.000, dan PT Indika Energy Tbk (INDY) turun  Rp110 (3,46 persen) menjadi  Rp3.070.

Bukan saja pasar saham, penutupan PLTU akan berdampak pada sektor tenaga kerja pertambangan batu bara. Hitung punya hitung terdapat ratusan ribu orang akan kehilangan pekerjaan.

Diperoleh data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020, selama ini industri batu bara telah menyerap tenaga kerja di Indonesia hingga 150 ribu pada 2019 lalu. 

Baca Juga: Lonceng Kematian Batu Bara Kian Menggema, Ratusan Ribu Orang Bakal Nganggur
Musim Ini Diprediksi Lebih Dingin, China Mulai Stok Batu Bara untuk Pemanas

Jumlah ini belum termasuk penyerapan tenaga kerja di bidang operasional PLTU. Sehingga, bila digabungkan dengan tenaga kerja di PLTU terdapat ratusan ribu tenaga kerja yang harus kehilangan pekerjaan.

Hilangnya pekerjaan akibat penghentian PLTU batu bara mesti dicarikan jalan keluarnya. Jika tidak, akan menimbulkan masalah besar. Apalagi, sejak pandemi merebak hingga sekarang, serapan tenaga kerja masih minim. Kalaupun ada di sektor informal. Sungguh mengkhawatirkan masa depan batu bara.