Bisakah Indonesia Lepas dari Ketergantungan BBM?

Ilustrasi BBM. (Foto: Pixabay)

Editor: Dera - Kamis, 29 September 2022 | 18:15 WIB

Sariagri - Meski menjadi salah satu negara penghasil minyak mentah, nyatanya Indonesia hingga kini masih melakukan impor bahan bakar minyak (BBM) dari berbagai negara, seperti Malaysia dan Sigapura.  

Ketergantungan terhadap energi fosil menyebabkan Indonesia berada dalam pilihan sulit, di mana negara tak akan mampu memberikan subsidi BBM secara terus menerus. Namun di sisi lain, masyarakat juga akan semakin terbebani jika harga bahan bakar mengalami kenaikan.

Mahalnya harga BBM jelas berdampak luas pada ekonomi masyarakat, mulai dari kenaikan harga pangan,  transportasi hingga barang dan jasa. 

Dilema memang, namun sudah saatnya Indonesia mulai melakukan langkah besar untuk memanfaatkan energi terbarukan, dan secara perlahan meninggalkan energi fosil. Ketergantungan terhadap energi fosil tak hanya membahayakan ketahanan energi, tapi juga menjadi penyebab utama krisis iklim.

RI Sulit Lepas dari BBM?

Guru Besar Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada (UGM) Profesor Deendarlianto sempat memaparkan data konsumsi energi di Indonesia, di mana 39 persen energi masih berbasis minyak, dan 64 persen di antaranya digunakan untuk transportasi. Dari jumlah tersebut, 90 persen konsumsi energi di sektor transportasi diperuntukkan bagi transportasi darat atau jalan raya.

"Sebenarnya kalau melihat komitmen Presiden Jokowi cukup kuat untuk transisi energi kotor ke energi bersih. Cuma dalam pelaksanaannya itu kan gak mudah, karena penyumbang karbon terbesar itu dari kendaraan bermotor, nah sampai sekarang kita masih menggunakan energi kotor, harusnya kan menggunakan RON di atas Pertamax, tapi sekarang Pertalite, Solar, Pertamax masih di pakai gak tahu sampai kapan," ungkap Pengamat Ekonomi Energi UGM, Fahmy Radhy saat dihubungi Sariagri, Kamis (29/9/2022). 

Menurut Fahmy, sulit bagi Indonesia lepas dari ketergantungan BBM, terlebih bahan bakar yang diperoleh Indonesia saja hingga saat ini masih diimpor dari negara lain. 

"Hampir semua BBM atau sebagian besar diimpor, sebagian diolah di Indonesia. Tapi yang dimiliki Pertamina itu kan kilang-kilang yang sudah tua. Selama 34 tahun Pertamina kan tidak bangun kilang sama sekali, meski ada rencana dan investor juga tapi tidak berhasil dan batal begitu saja," ungkap Fahmy. 

Dugaan Mafia Migas

Fahmy pun menduga jika pembangunan kilang di Indonesia terhalang oleh mafia-mafia yang mendukung Indonesia melakukan impor BBM.  

"Kayaknya memang ada something wrong dalam pembangunan kilang. Hasil kajian kami itu mengindikasikan bahwa kenapa kilang tidak dibangun? itu memang ada upaya dari mafia migas agar impor BBM tadi dilakukan dalam jumlah yang besar," pungkas Fahmy.

"Mafia migas itu mengambil keuntungan dari impor BBM, terutama saat itu adalah Premium, karena Premium tidak ada harga pembanding, kedua Premium itu diolah di kilang Singapura dan Malaysia, berapa sih harga sesungguhnya? Jadi sekarang tuh tergantung Pertamina bangun kilang atau tidak, kalau tidak ya impor terus," sambungnya. 

Baca Juga: Bisakah Indonesia Lepas dari Ketergantungan BBM?
BBM Kian Mahal, Waktunya Indonesia Beralih ke Energi Terbarukan

Tantangan Transisi Energi Terbarukan

Sementara itu, menurut Fahmy, transisi energi terbarukan dengan memanfaatkan sawit menjadi Biodiesel pun menghadapi berbagai rintangan. Salah satunya adalah teknologi yang kurang mumpuni serta larangan Biodiesel dari Uni Eropa, lantaran dinilai menghasilkan emisi tiga kali lipat dari energi fosil. 

Meski terbilang sulit lepas dari ketergantungan BBM, namun pihaknya menyebut konversi BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG) merupakan salah satu terobosan yang baik, namun sayang langkah itu terhenti lantaran infrastruktur yang tidak memadai. Oleh karena itu butuh komitmen kuat dari pemerintah untuk membangun infrastruktur dan menciptakan inovasi teknologi pendukung energi terbarukan agar Indonesia bisa lepas dari ketergantungan BBM.